Pengaruh Menulis Pengalaman Emosional Terhadap Penurunan Kecemasan Sosial pada Anak Jalanan di Panti Asuhan
Skripsi
IDA FITRIA
Syarifah Faradina, M. Psi., Psikolog
Kartika Sari, M. Psi., Psikolog
Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala
BANDA ACEH-INDONESIA, July 2011
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh menulis pengalaman emosional
terhadap penurunan kecemasan sosial pada anak jalanan yang tinggal di
panti asuhan. Menulis pengalaman emosional atau menulis peristiwa yang
penuh tekanan (stresfull event) menghasilkan
kesehatan fisik, kesejahteraan subjektif, dan tingkah laku adaptif
tertentu. Kecemasan sosial itu sendiri merupakan perasaan yang dirasakan
seseorang sebagai salah satu respon dari kondisi negatif dan suatu
situasi yang dirasakan tidak nyaman pada pengalaman tertentu ketika
beriteraksi dengan orang lain.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen-kuantitatif menggunakan one groups pretest-posttest design dengan subjek penelitian sebanyak 20 orang. Subjek
penelitian adalah anak jalanan yang tinggal di panti asuhan, berusia
antara 13-16 tahun. Instrumen yang dipakai adalah skala kecemasan sosial
SKS-R (Skala Kecemasan Sosial Remaja).
Hasil analisis data menunjukkan nilai p = 0,003 (p<0,01) dan penurunan kecemasan sosial sebesar 5,2 dari nilai range mean pada saat pre-post-test.
Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian perlakuan menulis pengalaman
emosional secara signifikan dapat menurunkan kecemasan sosial. Penurunan
yang lebih signifikan terjadi pada subjek dengan skala kecemasan sosial
berat, yaitu sebesar 12,8 sedangkan pada subjek dengan skala kecemasan
sosial sedang, hanya mengalami penurunan sebesar 5,6. Maka pemberian
perlakuan menulis pengalaman emosional dapat mereduksi kecemasan sosial
terutama bagi mereka dengan skala kecemasan sosial yang berat.
Keywords : Menulis Pengalaman Emosional, Kecemasan Sosial, Anak Jalanan, Panti Asuhan
Psikologi Dan Islam
Psikologi
dan Islam adalah suatu hal yang berbeda, namun jika dikaji lebih dalam
maka akan kita temukan hubungan yang sangat erat antara keduanya. Hal
ini hampir sama halnya jika kita akan menghubungkan psikologi dengan
hukum (psikologi forensik), akan ada banyak pertentangan antar kedua.
Salah satu permasalahan yang paling mendasar adalah hukum (baik hukum
islam atau hukum pemerintahan, UUD, dsbg) merupakan sesuatu yang pasti
sedangkan psikologi merupakan sesuatu yang sangat abstrak.
Berdasarkan
pemahaman penulis tentang psikologi dan nilai keislaman maka terdapat
dinamika yang sangat luar biasa dan sangat indah jika kita mampu mencari
selah dan jalur antar keduanya.
Psikologi
adalah limu yang selalu memberikan kesempatan untuk alasan dan sebab
seseorang berperilaku dan mengkaji dinamikanya dengan sangat psikologis.
Akan ada sejuta “pemakluman” dan “memahami” setiap keadaan sehingga
tidak ada yang salah dan benar. Hal ini, sangat berbeda dengan hokum
Islam yang telah mengatur beragam ketetapan yang tidak boleh dilanggar
dengan alasan apapun. Secara teoritis dan definisinya, memang tidak akan
ada korelasi yang positif antar keduanya. Namun, jika kita mengkaji
dinamika kedua ranah ini secara mendalam maka akan ada hubungan yang
sangat erat antar keduanya.
Dalam Islam dikenal dua jenis ibadah, “habblumminallah” dan ”hablumminannas” yaitu
peribadahan kita secara vertical (dengan sang Khalik) dan ibadah secara
horizontal (dengan sesama manusia dan makhluk Allah). Hal ini
menunjukkan bahwa Islam sangat memprioritaskan pola hubungan antar
manusia dengan mengharuskan umatnya terus menjalin dan menjaga hubungan
baik antar sesama, salah satunya dalam bentuk silaturrahmi. Psikologi
mengajarkan bagaimana manusia berperilaku dan memahami orang lain serta
sangat menekankan pentingnya empaty. Hal ini sangat berkorelasi dengan
ajaran Islam yang merupakan dasar ke-Islaman seseorang untuk mengabdi
dan menunaikan kebajikan kepada sesama manusia. Ini merupakan bagian
dasar dan utama salah satu jalan untuk mencari hubungan antara psikologi
dan Islam.
Selain
itu dalam materi ciri-ciri kesehatan mental yang menjadi dasar Ilmu
psikologi mengatakan bahwa orang yang sehat adalah orang yang mampu :
-menerima diri apa adanya
-mengetahui potensi diri
-menerima keterbatasan diri
-menjaga dan menjalin interaksi sosial dengan baik
-optimis
-menilai sesuatu secara objektif
-positive thingking
Dalam
Islam, hal utama yang sangat harus kita jaga adalah “hati”. Segala
komponen kesehatan mental yang dimaksud adalah wujud lain dari
“penghindaran penyakit hati” yang dimaksud dalam Islam. Islam
mengajarkan bahwa manusia yang bersih hatinya akan dekat dengan Sang
Khalik dan mustajabah doa’a. Penyakit hati yang dimaksud adalah iri,
dengki, dendam, ujub, ria, dan takkabur.
Berikut korelasi antar keduanya :
Y Menerima diri apa adanya adalah salah satu sifat yang dianjurkan dalam Islam, disebut dengan “Qanaa’h”
Y Mengetahui potensi diri juga wujud dari penyadaran dan rasa syukur terhadap karunia Allah.
Y Menerima
keterbatasan diri adalah salah satu cara kita menghindari diri dari
perasaan “ria, ujub dan takkabur” dan merupakan bentuk keikhlasan yang
dimaknai dalam “Takdir atau Qadha dan Qadar”
Y Menjaga interaksi sosial merupakan wujud “silaturrahmi” yang merupakan sunnah Rasul.
Y Optimis dan positif thinking adalah wujud lain dari penghindaran sifat iri, dengki, dan dendam.
Kedua
pembahasan ini hanya bagian kecil dari korelasi yang dapat disajikan
penulis dalam bentuk tugas yang singkat. Sebenarnya masih ada penjelasan
panjang untuk menggambarkan hubungan indah ini.
Jadi,
kesimpulannya antara psikologi dan Islam memiliki prinsip yang berbeda
namun pelaksanaannya dan tujuannya adalah sama. Penulis memiliki
argument bahwa, jika seseorang memahami psikologi dan Islam dengan baik
maka ilmu psikologi yang didapat akan menyatu dengan nilai Islam yang
dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang lalai dengan objektifitas dan
psikologi maka dia bisa meninggalkan agamanya, karena semuanya serba
bisa “ditolerir” atau “dimaklumi” sedangkan dalam Islam, yang salah
tetap salah dan yang benar tetap benar. Hanya Allah yang tahu dan
menilai. Semoga kita termasuk dalam orang-orang yang dipilih dan dijaga
hatinya. Amieeen…. :)
Logotherapy Frankl
Temukan Arti Hidup
Ida Fitria
Ø Orang yang Mengatasi Diri
Victor E. Frankl adalah seorang neuro-psikiater kelahiran Wina,
Austria yang berhasil selamat keluar dari kamp konsentrasi maut Nazi
melalui usahanya untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan hidup
bermakna (the will to meaning). Ternyata harapan untuk hidup
bermakna dapat dikembangkan dalam berbagai kondisi, baik dalam keadaan
normal, maupun dalam penderitaan (suffering), misalnya dalam kondisi sakit (pain), salah (guilt), dan bahkan menjelang kematian sekalipun.
Dari pengalaman hidupnya, Frankl belajar bahwa manusia dapat
kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasan manusia
yang sangat fundamental yaitu kebebasan untuk memilih suatu sikap atau
cara bereaksi terhadap nasib kita, kebebasan untuk memlilih cara kita
sendiri. Apa yang berarti dalam eksistensi manusia, bukan semata-mata
nasib yang menantikan kita, tetapi bagaimana cara kita menerima nasib
itu. Frankl percaya bahwa arti dapat ditemukan dalam semua situasi,
termasuk penderitaan dan kematian. Frankl berasumsi bahwa hidup ini
adalah penderitaan, tetapi untuk menemukan sebuah arti dalam penderitaan
maka kita harus terus menjalani dan bertahan untuk tetap hidup. Frankl
menyatakan pentingnya dorongan dalam mencari sebuah arti untuk
eksistensi manusia sebagai suatu sistem, yang kemudian disebut logoterapy. Logoterapy kemudian menjadi model psikoterapinya.
Ø Pendekatan Frankl Terhadap Kepribadian
Pandangan Frankl tentang kesehatan psiokologis berorientasi pada
pemahaman seseorang terhadap arti atau kebermaknaannya. Hal tersebut
sesuai dengan makna dari sistemnya; Logoterapi berasal dari kata logos yang telah diadopsi dari bahasa Yunani dan berarti "makna" (meaning) dan juga "ruhani" (spirituality). Logoterapi didasari pada filsafat
hidup dan insight mengenai manusia yang mengakui adanya hal-hal yang
spiritual, selain masalah fisik, psikologis dan sosial pada eksistensi
manusia. Penekankannya terdapat pada makna hidup dan kehendak untuk
hidup bermakna sebagai potensi manusia serta teknik-teknik terapeutic khusus untuk menemukan arti tersebut dalam kehidupan.
Logoterapi dibangun diatas tiga asumsi dasar yang satu sama lain saling mempengaruhi, yaitu :
· kebebasan bersikap dan berkehendak
Frankl
sangat menantang pendekatan-pendekatan psikologi/psikiatri yang
menyatakan kondisi manusia dipengaruhi dan ditentukan oleh
insting-insting biologis atau konflik masa kanak-kanak atau sesuatu
kekuatan dari luar lainnya. Menurut Frankl meskipun kondisi luar tesebut
mempengaruhi kehidupan, namun individu bebas memilih reaksi dalam
menghadapi kondisi-kondisi tersebut. Manusia memang tidak akan dapat
bertahan dan mampu menghilangkan kekuatan-kekuatan luar tersebut, tetapi
bebas memilih sikap untuk menghadapi, merepson dang menangani kekuatan
tersebut. Manusia harus menghargai kemampuannya dalam mengambil sikap
untuk mencapai kondisi yang diinginkannyaManusia tidak sepenuhnya
dikondisikan dan ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang
lebih menentukan apa yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu.
Dengan kata lain manusialah yang menentukan dirinya sendiri.
· kehendak untuk hidup bermakna
Kehendak
akan arti kehidupan maksudnya kebutuhan manusia untuk terus mencari
makna hidup untuk eksistensinya. Semakin individu mampu mengatasi
dirinya maka semakin ia mengarah pada suatu tujuan sehingga ia menjadi
manusia yang sepenuhnya. Arti yang dicari tersebut memerlukan tanggung
jawab pribadi karena tidak seorangpun bisa memberikan pengertian dan
menemukan maksud dan makna hidup kita selain diri kita sendiri. Dan itu
merupakan tanggung jawab masing-masing pribadi untuk mencari dan
menemukannya. Menurut Frankl keinginan untuk hidup yang bermakna ini
merupakan motivasi utama yang tedapat pada manusia untuk mencari,
menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya.
· makna hidup
Pada
dasarnya, manusia adalah makhluk yang selalu berusaha untuk memaknai
hidupnya. Pada beberapa orang, pencarian makna hidup bisa berakhir
dengan keputusasaan. Keputusasaan dan kehilangan makna hidup ini
merupakan neurosis, dan Frankl menyebut kondisi ini noogenic neurosis. Sebutan itu bermakna bahwa neurosis ini berbeda dengan yang disebabkan oleh konfliks psikologis dalam individu. Noogenic neurosis menggambarkan
perasaan tidak bermakna, hampa, tanpa tujuan dan seterusnya.
Orang-orang seperti ini berada dalam kekosongan eksistensial (existential vacuum).
Tetapi Frankl mengatakan bahwa kondisi tersebut lumrah terjadi di zaman
modern ini. Frankl menganggap bahwa makna hidup itu bersifat unik,
spesisfik, personal, sehingga masing-masing orang mempunyai makna
hidupnya yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi yang
satu dengan yang lainnya.
Salah satu indikator ketidak bermaknaan hidup adalah rasa bosan. Orang-orang yang merasa bosan dan merasa bodoh terhadap noogenic neurosis disebabkan oleh :
- Kehilangan instink-instink alamiah untuk berhubungan dengan alam
- Merasa adat kebiasaan, tradisi, dan nilai-nilai untuk menentukan tingkah laku sehingga seakan ada yang mengatur langkah hidupnya
Ø Kodrat Eksistensi Manusia yang Sehat
Hakikat dari eksistensi manusia terdiri dari tiga faktor, yaitu
Spiritualitas
- Merupakan suatu konsep yang sulit dirumuskan namun tidak dapat direduksikan dan tidak dapat diterangkan dengan bentuk-bentuk yang bersifat material, kendatipun spiritual dapat dipengaruhi oleh dimensi kebendaan. Namun tetap saja spiritualitas tidak dapat disebabkan ataupun dihasilkan oleh hal-hal yang bersifat bendawi tersebut. Istilah spiritual ini dapat disinonimkan dengan istilah jiwa
- Manusia tidak dapat didikte oleh faktor-faktor non-spiritual seperti instink, kondisi spesifik, atau lingkungan
Kebebasan
- Kebebasan tidak dibatasi oleh hal-hal yang bersifat non spiritual, oleh insting-insting biologis, apalagi oleh kondisi-kondisi lingkungan
- Manusia dianugerahi kebebasan oleh penciptanya, dan dengan kebebasan tersebut ia diharuskan untuk memilih bagaimana hidup dan bertingkah laku yang sehat secara psikologis
- Individu yang tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan kebebasan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, adalah individu yang mengalami hambatan psikologis atau neurotis. Individu yang neurotik akan menghambat pertumbuhan sekaligus pemenuhan potensi- potensi yang mereka miliki, sehingga akan mengganggu perkembangan sebagai individu secara penuh.
Tanggung Jawab
- Individu yang sehat secara psikologis menyadari sepenuhnya akan beban dan tanggung jawab yang harus mereka pikul dalam setiap fase kehidupannya, sekaligus menggunakan waktu yang mereka miliki dengan bijaksana agar hidup dapat berkembang ke arah yang lebih baik.
- Kehidupan yang penuh arti sangat ditentukan oleh kualitasnya, bukan berapa lama atau berapa panjang usia hidup.
- Keberadaan manusia akan menjadi sehat dan efektif jika faktor-faktor tersebut di atas dapat terealisasikan dengan baik dan benar dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh individu.
Ø Dorongan Kepribadian yang Sehat
Frankl (dalam Schultz, “Psikologi Pertumbuhan”, 1991)
menyatakan bahwa dalam menemukan makna hidup tidak terlepas dari
realisasi nilai-nilai. Nilai-nilai itu tidak sama bagi setiap orang, dan
berbeda dalam setiap situasi. Nilai-nilai itu senantiasa berubah dan
fleksibel agar dapat beradaptasi dengan beragam situasi di mana individu
dapat menyadari kemampuan yang dimilikinya.
Nilai-nilai yang mendasar bagi manusia dalam upaya menemukan makna hidupnya, menurut Frankl adalah:
- Nilai-nilai Daya Cipta (Kreatif) ; nilai-nilai kreatif ini biasanya terealisasi dalam bentuk aktivitas yang kreatif dan produktif, biasanya terkait dengan suatu bidang pekerjaan. Meski begitu, nilai-nilai kreatif dapat diterapkan di semua bagian kehidupan. Makna hidup akan diberikan melalui karya-karya nyata, tidak harus berupa hal-hal yang bersifat materi atau fisik, mungkin saja dengan ide, ataupun dengan jasa yang diberikan kepada orang lain.
- Nilai-nilai Pengalaman ; nilai-nilai pengalaman adalah apa-apa saja yang diperoleh manusia dalam rentang waktu kehidupannya, misalkan penemuannya akan suatu kebenaran, keindahan, cinta, kasih sayang, caci maki, atau bahkan sumpah serapah. Ada kemungkinan bagi manusia untuk menemukan kebermaknaan hidup dengan mengalami berbagai sisi kehidupan secara intensif, walaupun individu tersebut tidak melakukan sesuatu yang positif atau berarti.
- Nilai-nilai Bersikap ; merupakan sikap yang ditunjukkan oleh manusia terhadap segala kemungkinan atau kondisi yang tidak sanggup diubahnya, seperti penyakit, kesulitan, atau kematian. Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan, yang sangat potensial untuk menimbulkan tekanan psikologis bagi individu, seperti stres, kesedihan, bahkan keputusasaan, sebenarnya membuka kesempatan yang sangat luas bagi individu untuk dapat menemukan makna hidupnya. Apabila dihadapkan pada kondisi sedemikian, maka satu-satunya cara terbaik dan paling rasional untuk dilakukan adalah dengan menerima keadaan tersebut dengan lapang dada.
Dengan
memasukkan ketiga nilai tersebut sebagai cara memberi arti dalam
kehidupan, Frankl memberi satu harapaan bahwa setiap kejadian baik itu
senang atau susah mempunyai maksud dan makna berharga bagi kehidupan.
Kehidupan akan terus berlanjut dengan baik tergantung sejauh mana kita
menyadari kewajiban terhadap nilai-nilai yang ada dalam kehidupan.
Orang-orang yang menemukan makna dalam kehidupannya aka mencapai transedensi-diri.
Ø Kodrat Orang yang Mengatasi-Diri
Frankl (dalam Schultz, “Psikologi Pertumbuhan”, 1991)
percaya bahwa asumsinya sesuai dengan pandangan Maslow bahwa cara yang
paling baik mengaktualisasikan diri adalah berkomitmen terhadap suatu
kewajiban dan hal-hal lain diluar diri. Menurut Frankl (dalam Schultz, “Psikologi Pertumbuhan”, 1991)
menjadi sehat secara psikologis adalah bergerak ke luar dari focus diri
mengatasinya, menyerapi dalam arti dan tujuan seseorang. Maka dengan
demikian diri akan mencapai self-fullfillment dan diaktualisasikan secara spontan dan wajar.
Karakteristik orang-orang yang memiliki kepribadian yang sehat dikemukakan Frankl (dalam Schultz, “Psikologi Pertumbuhan”, 1991) dalam hakikat-hakikatnya untuk :
- Bebas memilih langkah mereka sendiri
- Bertanggung jawab terhadap lingkungannya
- Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar, seperti instink biologis atau konflik masa lalu
- Menemukan makna hidup yang sesuai dengan dirinya
- Sadar untuk terus mengontrol kehidupan mereka
- Mampu mengungkapkan nilai-nilai kreativitas, pengalaman, dan sikapnya
- Mengendalikan dan memusatkan perhatian terhadap diri
Referensi
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Yokyakarta : KANISUS
No comments:
Post a Comment